DPR Sahkan RUU KUHAP, Pasal Ini Dianggap Bermasalah Batasi Kebebasan Pendapat!
--
“Kami tidak bisa memenuhi semua masukan, tapi ini 99% isinya berasal dari usulan masyarakat sipil,” kata Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, sebelum sidang pleno digelar, Selasa (18/11). Dia juga mengecam penyebaran informasi palsu terkait RUU tersebut.
“Adanya hoaks atau berita bohong yang beredar sangat masif di media sosial yang intinya menyebutkan empat hal kalau RUU KUHAP disahkan. Polisi jadi bisa lakukan ini ke kamu tanpa izin hakim,” kata Habiburokhman dalam sidang pleno.
Habiburokhman menyatakan bahwa pengesahan KUHAP merupakan sebuah keberhasilan, karena membutuhkan waktu 40 tahun. Maidina Rahmawati dari ICJR menanggapi tuduhan informasi palsu tersebut.
Baca juga: Konflik Panas Helwa Bachmid vs Fadlun Faisal, Ungkap Harus Paham Resiko jadi Istri Habib!
Baca juga: SAH! Ketuk Palu RUU KUHAP jadi Undang-Undang KUHAP Baru, Puan Harap Masyarakat Tidak Termakan Hoaks
Isi RUU KUHAP yang Dianggap Bermasalah
Menurut catatan koalisi sipil, yang kami lansir dari Tempo.co beberapa pasal dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP dianggap bermasalah, terutama Pasal 5, 7, 8, 16, 74, 90, 93, 105, 112A, 124, 132A, dan 137.
Iqbal Muharam Nurfahmi, peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menyatakan bahwa pengesahan RUU ini merupakan bentuk ketidakpatuhan legislator terhadap program reformasi kepolisian. Hal ini karena RUU ini memberikan kewenangan yang sangat luas kepada kepolisian.
“Pengesahan RUU KUHAP merupakan kemunduran reformasi hukum di Indonesia,” kata Iqbal di pintu Pancasila Gedung DPR RI pada Selasa, 18 November 2025.
Salah satu pasal yang dianggap bermasalah adalah pasal 16 ayat (1), yang mengatur prosedur investigasi yang dapat dilakukan melalui:
Baca juga: Konflik Panas Helwa Bachmid vs Fadlun Faisal, Ungkap Harus Paham Resiko jadi Istri Habib!
- pembuntutan
- penyamaran
- pembelian terselubung (undercover buy)
- penyerahan di bawah pengawasan
- pelacakan
- pendatanganan dan pengundangan seseorang untuk keterangan
Masalah besar muncul karena teknik-teknik seperti pembelian terselubung kini dapat digunakan dalam kasus pidana umum, dan tidak lagi hanya dalam kasus narkotika seperti sebelumnya.
Menurut peneliti ICJR, Iqbal Muharam Nurfahmi, perluasan kewenangan ini tanpa pengawasan yudisial membuka peluang terjadinya praktik-praktik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana (entrapment) dan manipulasi kasus.